Memberitakan Dengan Fakta
BUTON  

Pengacara Sebut Ngkaaba Hamid dan Yongki bukan Pelaku Utama dalam Pusaran Dugaan “Skandal Fee Proyek” di Buton

Pengacara Sebut Ngkaaba Hamid dan Yongki bukan Pelaku Utama dalam Pusaran Dugaan "Skandal Fee Proyek" di Buton
Ketgam : Adv Apri Awo, La Ngkaba, Yongki.

Buton –  Ngkaaba Hamid dan Yongki bukanlah pelaku utama dalam pusaran dugaan “Skandal Fee Proyek” di Kabupaten Buton senilai 2 Milyar Rupiah.

Pengacara Apri Awo SH mengatakan tindak pidana korupsi merupakan kelompok kejahatan kerah putih, yaitu kejahatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan dan kedudukan penting dalam institusi negara.

Hal ini menunjukkan bahwa korupsi biasa dilakukan oleh orang-orang yang cerdas, orang-orang yang mengerti seluk-beluk keuangan dan birokrasi dalam institusinya.

“Untuk menutupi perilakunya, para pelaku cenderung akan membuat sebuah skenario yang rapi dan sulit diidentifikasi oleh penyidik dan kejaksaan sehingga mempersulit proses pemeriksaan di persidangan,”ujarnya.

Kata dia Ngkaaba Hamid dan Yongki bukanlah pelaku utama dalam pusaran dugaan “Skandal Fee Proyek” di Kabupaten Buton senilai 2 Milyar Rupiah.

Olehnya itu, Dibalik Jeruji Mencari Keadilan Melalui *”WHISTLE BLOWER & JUSTICE COLLABORATOR For NGKAABA HAMID & YONGKI”.

“Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely” | Lord Acton. Sekiranya adalah quote yang tepat menggambarkan sangat kentalnya korupsi dengan kekuasaan yang telah menimbulkan instabilitas dalam bidang-bidang strategis sebagaiman ketentuan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, dinyatakan bahwa korupsi merupakan ‘perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’, ‘bersifat melawan hukum’, dan ‘dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara’.

Sedangkan pada bagian konsiderans Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai revisi atas Undang-Undang Nomor  31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tertulis bahwa korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

Ditambah lagi dengan konsiderans United Nations Concention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, yang mempertegas bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus diperangi karena menimbulkan dampak yang masif bagi kehidupan negara. Sehingga pemberantasannya harus dilaksanakan secara luar biasa pula.

Lalu, apakah tindakan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pihak berwajib (penegak hukum) lainnya telah cukup luar biasa untuk mengimbangi kasus korupsi yang kian marak? Jawabannya, Belum…!

Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana *(Whistle Blower)* Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama *(Justice Collaborator)* Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Justice Collaborator (JC) adalah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum. Selanjutnya JC tersebut akan memperoleh penghargaan yang dapat berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi, pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain yang terbukti bersalah, perlakukan khusus, dan sebagainya. Munculnya eksistensi JC didasari oleh beberapa ketentuan meliputi:

Pasal 37 ayat (2)  UNCAC 2003 yang berbunyi: “…mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan/penuntutan…”
Pasal 37 ayat (3)  UNCAC 2003 yang berbunyi: “… sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan ‘kekebalan penuntutan’  bagi pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan/penuntutan…”
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
(1)  Saksi korban dan Pelapor tidak dapat dituntut atas laporan dan kesaksiannya

(2)  Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Pasal 197 angka (1) huruf F KUHAP  mengenai surat putusan pemidanaan yang salah satu bagiannya membahas tentang ‘keadaan memberatkan dan meringankan terdakwa’. Dalam hal ini, keadaan meringankan meliputi memberikan keterangan yang tidak berbelit-belit, kooperatif, belum pernah dihukum sebelumnya, berusia muda, baik/sopan selama persidangan, dan memiliki tanggungan anggota keluarga.

Selain itu, keberadaan Justice Collaborator juga didukung dengan Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua LPSK tentang perlindungan bagi pelapor, Whistle Blower, dan Justice Collaborator. Hampir sama dengan ketetapan dalam pasal 37 UNCAC 2003, yaitu pasal 26 United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime 2000 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009. Kriteria untuk menjadi JC tercantum dalam SEMA No. 4 tahun 2011 pada Angka (9a) dan (b) dan keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM, yaitu digunakan dalam mengungkap tindak pidana yang luar biasa/terorganisir, JC bukanlah pelaku utama, keterangan yang diberikan pelaku harus signifikan, relevan, dan andal, pelaku mengakui tindakan yang dilakukannya disertai kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dengan pernyataan tertulis, mau bekerja sama dan kooperatif dengan penegak hukum.

Ide lahirnya Justice Collaborator berasal dari spirit untuk membongkar kasus yang lebih besar, mengingat korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang melibatkan beberapa orang dalam satu lingkaran koordinasi untuk mencapai tujuan yang sama. Terkadang, para pelaku juga membentuk kerja sama yang kolutif dengan aparat penegak hukum serta membentuk jejaring komplotan koruptor yang solid. Berada dalam kelompok ini menimbulkan apa yang disebut dalam dunia psikologi sebagai ‘paranoid solidarity’, yaitu perasaan takut akan dikucilkan, dibenci, dan dijerumuskan dalam kelompok, sehingga mau tak mau para pelaku akan saling melindungi satu sama lain.

Tinggalkan Balasan