Memberitakan Dengan Fakta

Dalil KPU Sultra dan ASR-Hugua di MK Dinilai Tidak Berbobot dan Minim Bukti

Dalil KPU Sultra dan ASR-Hugua di MK Dinilai Tidak Berbobot dan Minim Bukti
Kuasa Hukum Dra. Hj. Tina Nur Alam, MM., Sugihyarman Silondae, S.H., M.H.,

Jakarta, faktasultra.id – Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Sulawesi Tenggara memasuki babak penting setelah Kuasa Hukum Termohon (KPU Sultra) dan pihak terkait menyampaikan jawban di Ruang Sidang Panel II Mahkamah Konstitusi pada 22 Januari 2025, serta di sejumlah media online.

Kuasa Hukum Dra. Hj. Tina Nur Alam, MM., Sugihyarman Silondae, S.H., M.H.,menilai argumen-argumen yang disampaikan tidak cukup kuat untuk menghentikan pemeriksaan pokok perkara.

Menurutnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang telah diperbarui melalui UU Nomor 8 Tahun 2011, UU Nomor 4 Tahun 2014, dan terakhir UU Nomor 7 Tahun 2020 (UU MK), dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 3 Tahun 2024 telah menegaskan kewajiban Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menilai setiap dalil secara menyeluruh, berpedoman pada UUD 1945.

Pada aspek legal standing, Kuasa Hukum Termohon berpendapat bahwa pencabutan surat kuasa dan permohonan secara sepihak oleh Calon Wakil Gubernur, La Ode Muh Ihsan Taufik Ridwan, otomatis menggugurkan kedudukan hukum (legal standing) Dra. Hj. Tina Nur Alam sebagai Calon Gubernur.

Namun, Sugihyarman membantah tegas argumen tersebut dengan merujuk pada PMK Nomor 3 Tahun 2024, yang mengatur bahwa pencabutan permohonan harus dilakukan berdasarkan kesepakatan seluruh pasangan calon dan memenuhi syarat formil serta materiil. Ia menegaskan bahwa hak konstitusional Calon Gubernur tidak dapat dianulir sepihak oleh pasangannya tanpa persetujuan bersama, karena hal itu akan mencederai prinsip keadilan dan membuka ruang manipulasi dalam proses peradilan.

Lebih lanjut, fakta persidangan menunjukkan bahwa La Ode Muh Ihsan mencabut surat kuasa dan permohonan “atas kemauannya sendiri” tanpa koordinasi, persetujuan, atau pemberitahuan resmi kepada tim kuasa hukum yang menangani perkara, serta dilakukan sebelum Mahkamah menetapkan nomor register perkara dan jadwal sidang. Dengan demikian, tindakan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan semestinya dikesampingkan sesuai prinsip mutatis mutandis, demi menjaga integritas proses hukum.

Di sisi lain, Kuasa Hukum Termohon mempersoalkan dalil selisih suara antara pemohon dan pemenang Pilkada—yang diklaim mencapai 31,55 persen—untuk menyatakan permohonan seharusnya langsung ditolak berdasarkan Pasal 158 UU Pilkada. Menanggapi ini, Sugihyarman mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki sejumlah yurisprudensi yang menegaskan ambang batas selisih suara bukanlah norma absolut bila terdapat indikasi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Ia menyebut beberapa Yurisprudensi MK , seperti Putusan MK Nomor 97/PHP.BUP-XIV/2016 (Sanggau), Putusan MK Nomor 47/PHP.BUP-XIV/2016 (Intan Jaya), dan Putusan MK Nomor 60/PHP.BUP-XVI/2018 (Paniai).

Pada putusan-putusan tersebut, Mahkamah tetap memeriksa pokok perkara meski selisih suara di atas ambang batas, “Ini menunjukkan bahwa MK tidak sekadar menghitung angka suara. Bila prinsip kejujuran dan keadilan terlanggar, Mahkamah wajib menggali substansi demi melindungi hak konstitusional,” ujarnya.

Lebih lanjut, dugaan pemalsuan tanda tangan Ketua DPD Partai Hanura Sultra dipersoalkan Kuasa Hukum Termohon dan Pihak Terkait karena tidak ada laporan resmi ke kepolisian atau Bawaslu. Bagi Sugihyarman, pandangan itu lemah secara hukum.

“Tidak terlaporkannya suatu tindakan ke aparat penegak hukum bukan berarti meniadakan potensi pelanggaran. Mekanisme di Mahkamah Konstitusi (MK) memungkinkan pemohon mengajukan bukti lain, seperti keterangan saksi, ahli, serta akta otentik dibawah sumpah (affidavit),” tuturnya lagi.

Ia menegaskan, kasus ini bukanlah proses pidana melainkan sengketa konstitusional yang menilai keabsahan proses dan dokumen pemilihan. “Apalagi, dalam perkara ini terdapat pengakuan langsung dari Wa Ode selaku pihak yang diduga tanda tangannya dipalsukan, dituangkan dalam bukti akta otentik (affidavit) dan bukti-bukti pendukung lain yang sah secara hukum. Karena itu, peran MK adalah memverifikasi dan menilai dampak pemalsuan atas legitimasi pencalonan,” paparnya.

Menurut Sugihyarman, Dalil Kuasa Hukum Pihak terkait yang menyatakan bahwa Termohon telah melakukan verifikasi ringkas melalui video call terhadap Waode Nurhayati tidak dapat dianggap cukup untuk mengesampingkan dugaan kecurangan. Hal ini juga menjadi Kontradiktif dan pertanyaan dipersidangan kenapa Verivikasi Video oleh Termohon (KPU Sultra) disampaikan dan diajukan bukti Oleh Kuasa Hukum Pihak Terkait (Paslon Nomor urut 2) Ada Apa ? Apakah hal ini mengindikasikan adanya penyimpangan prosedur atau potensi keberpihakan dalam pengajuan alat bukti tersebut? Kejanggalan ini membutuhkan perhatian yang mendalam untuk memastikan terpenuhinya prinsip integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses persidangan.

“Prinsip due process of law menuntut pemeriksaan tuntas agar tidak timbul ketidakpastian hukum. Kalau bukti akta otentik ini diabaikan, hak konstitusional pemilih dan kandidat bisa tercederai, Dalam sengketa hasil pemilihan, terutama terkait dugaan pemalsuan dokumen, MK tidak hanya fokus pada aspek kriminal tetapi juga pada integritas dan legitimasi proses pemilihan. Pemalsuan dokumen dianggap sebagai pelanggaran administratif yang berdampak langsung pada keabsahan hasil pemilihan, sehingga MK memiliki kewenangan untuk menilai dan mengambil keputusan berdasarkan bukti yang diajukan tanpa harus menunggu proses pidana. Pemalsuan dokumen, seperti tanda tangan, dapat memiliki dampak signifikan terhadap hasil pemilihan. ” tandasnya.

Sugihyarman pun menyoroti penghentian beberapa Laporan dugaan politik uang oleh Bawaslu dan kepolisian karena batas waktu investigasi. Menurutnya, penghentian di tingkat pengawas bukan berarti meniadakan pelanggaran. “Asas kemanfaatan dan keadilan menuntut agar MK dapat memeriksa lebih jauh. Dalam perkara semisal Putusan MK Nomor 3/PHP.BUP-XIX/2021 (Halmahera Utara) atau Nomor 135/PHP.GUB-XIX/2021 (Kalimantan Selatan), MK menegaskan bahwa jika indikasi money politics besar dan berdampak masif, maka perselisihan wajib digali sampai pokok perkara,” urainya. Ia khawatir bila kecurangan demikian dibiarkan, reputasi demokrasi dan kepentingan publik akan tercederai secara serius.

Di sisi lain, Sugihyarman memberikan apresiasi terhadap kinerja Bawaslu, terutama karena beberapa laporan terkait politik uang dan netralitas ASN/Kepala Desa telah terbukti dan ditindaklanjuti hingga tingkat Bawaslu. Bawaslu juga telah mengeluarkan rekomendasi kepada Pejabat Bupati, meskipun hingga saat ini belum ada tindak lanjut atas rekomendasi tersebut. Selain itu, kasus-kasus tersebut telah dilimpahkan ke Ditreskrimum Polda Sulawesi Tenggara. Namun, proses penyidikan terkendala oleh batas waktu yang mengakibatkan kasus-kasus tersebut tidak dapat dilanjutkan.

Lebih lanjut, Sugihyarman menyoroti bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh Termohon maupun Pihak Terkait dinilai tidak berbobot secara hukum, mengandung kekaburan substansi, serta tidak didukung oleh bukti yang memadai. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi harus mengesampingkan dalil-dalil tersebut.

“Jawaban yang kabur, tidak relevan, dan tidak didasarkan pada asas-asas hukum yang jelas tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan oleh Mahkamah. Dalam sengketa hasil pemilihan, Mahkamah memiliki kewenangan untuk memprioritaskan substansi kebenaran materiil di atas sekadar pembelaan formalitas yang tidak memiliki landasan hukum yang kuat,” tegasnya.

Pada akhirnya, Sugihyarman menegaskan bahwa perkara Nomor 249/PHPU.GUB-XXIII/2025 patut diteruskan ke pemeriksaan pokok perkara. Ia mengutip empat asas hukum utama—keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, dan perlindungan hak konstitusional—yang dianut MK berdasarkan UU MK dan yurisprudensi terdahulu. “Menutup perkara hanya lantaran selisih suara melebihi ambang batas, pencabutan kuasa dan permohonan sepihak , sangat berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap peradilan pemilu. MK selaku the guardian of constitution wajib memeriksa segala dugaan pelanggaran tanpa tersandera oleh formalitas yang kaku,” tandasnya. Ia pun memperingatkan, andai MK melewatkan proses verifikasi bukti, masyarakat Sultra dan Indonesia bisa kehilangan hak atas pemilu yang benar-benar jujur dan adil. “Kami berharap MK konsisten dalam menegakkan konstitusi, mengutamakan kebenaran materiil ketimbang semata-mata angka selisih,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan