BAUBAU, FAKTASULTRA.ID – HMI Baubau Sulawesi Tenggara (Sultra) mendesak Kapolres Segera untuk segera menuntaskan kasus cabul anak di bawah umur Pasalnya, kasus tersebut dilaporkan sejak November 2022 lalu.
“HMI Baubau mengecam dan mengutuk keras perbuatan para pelaku yang melakukan persetubuhan anak dibawah umur,”ujar seorang Kader HMI Cabang Baubau, MUHLIS M.
Disayangkannya, kasus yang dilaporkan sejak November 2022 lalu belum dituntaskan oara pelaku masih berkeliaran. Hal ini berdasarkan Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP) Nomor: TBL/104/XI/2022/SULTRA/RES BAUBAU TANGGAL 17 NOVEMBER 2022.
“Kapolres Baubau harus nya lebih serius untuk menyikapi kasus-kasus dimana korban nya adalah anak-anak yang terbilang dibawah umur. Ini kan dari penegasan Kapolres saja kepada para jajaran nya,” ujarnya lagi.
Lanjut dia, seperti kasus persetubuhan anak dibawah umur saat ini marak terjadi dan cukup menyuri perhatian masyarakat pada umumnya.
“Seharusnya masalah ini tidak boleh sampai berlarut-larut, ini menyangkut psikologis keluarga, ini soal harkat dan martabat pada diri korban maupun orang tua korban”, tambah Atul sapaan akrab.
Mirisnya lagi, dari hasil perbuatan para pelaku salah satunya berdampak pada kejiwaan korban AR saat ini. Hal ini pun diketahui ketika orang tua korban membawa korban AR ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) pada bulan Januari 2022 yang lalu. Disebutkan dalam Surat Keterangan Dokter, bahwa korban AR sedang menjalani pengobatan di Unit Rawat Jalan RS Jiwa.
Keterangan yang diperoleh dari Ibu Korban AR di Mapolres Baubau pada Selasa (7/02), bahwa AR sempat mengalami pendarahan dan hampir merenggut nyawa, bahkan sering mengalami pingsan. Selain itu AR pun sering mengalami pengancaman dari para pelaku.
“Ini sangat menyentuh hati nurani kami, prihatin dengan kasus-kasus seperti ini, dan tentu ini meresahkan. Olehnya ijinkan kami menghimbau dan mengajak kepada setiap orang tua, terutama anak perempuan yang masih belia dan masih dibawah umur, pastinya dalam situasi apapun, pengawasan orang tua itu harus tetap ada”, ujar Ketua DPD Pengawas Independen Indonesia (WASINDO) Kepulauan Buton (KEPTON).
Sebagai Kader HMI dalam melihat deretan kasus-kasus seperti ini tentu sangat mendorong kinerja aparat kepolisian, selain rasa kepercayaan yang tinggi juga kenyamanan bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan keadilan, khususnya di Negeri Khalifatul Khamis yang kita sama-sama cintai ini. Pun begitu, kata dia demi kemanusiaan pasal 1 angka 6 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM juga jelas diterangkan khususnya pada kalimat ‘penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku’.
Selain itu, dirinya menyatakan mendukung penuh aksi demontrasi yang dilakukan oleh orang tua Korban di Polres Baubau,(7/02). Pasalnya dikarenakan satu dari tiga Pelaku inisial RR, bahwa sejak dilaporkan oleh pihak keluarga korban pada November 2022 di Polres Baubau namun disayangkan pihak Kepolisian belum melakukan penangkapan.
Saat ini diketahui penangkapan baru dilakukan terhadap pelaku I dan RE.
“Kita berharap, khususnya kepada Kapolres Baubau bersama jajaran nya bisa mem-pressure kasus ini dan tidak membiarkan hal ini berlarut-larut. Apalagi setelah kami tahu dari orang tua korban ternyata masih ada satu pelaku yang masih belum ditangkap sampai saat ini, ini bisa menyurutkan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi korban”, tandasnya.
Untuk diketahui, pada Pasal 76D dan 76E UU Perlindungan Anak tahun 2002 dan diperbarui dengan UU No 35 tahun 2014 telah mengatur bahwa unsur kekerasan atau ancaman kekerasan tidak dibutuhkan dalam membuktikan adanya perkosaan atau pencabulan terhadap anak. Sepanjang terdapat bukti bahwa perbuatan cabul atau persetubuhan terhadap anak tersebut terjadi, pelaku sudah dapat dijerat dengan pemidanaan.
Pun amanat UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) sepatutnya memberikan perlindungan khusus yang terdiri dari upaya: edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; rehabilitasi sosial; pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Sesuai dengan Pasal 81 Perpu 1 tahun 2016 jo Pasal 76D UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahwa, Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang diganjar dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Perbuatan melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain juga dinyatakan sebagai tindak pidana, sekalipun ada narasi bahwa keduanya adalah perbuatan suka sama suka, hal tersebut adalah tindak pidana. Dikarenakan korban berusia anak, maka tidak ada konsep persetujuan murni orang dibawah usia 18 tahun untuk melakukan hubungan seksual, maka hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak-anak harus dinyatakan sebagai tindak pidana.