Usulan Raperda Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (CSR) Terkesan Dipaksakan
Oleh : Pejabat Pembantu Ketua I Bidang Akademik STAI YPIQ Baubau, Agussalim IS. SH. S.Pd. MH. CIL
SEMANGAT Pemerintah Kota Baubau tentang usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang berkaitan tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan diprediksi akan menjadi polemik tersendiri nantinya.
Menurut saya dengan mengharapkan peningkatan pendapatan daerah melalui usulan Raperda tersebut dapat menjadi buah simalakama bagi Pemkot Baubau. Khususnya terkait Corporate Social Responsibility (CSR).
Secara tidak langsung usulan Raperda yang termuat pada point kelima itu telah melanggar asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, sehingga apabila Perda CSR diwujudkan dan disahkan dikhawatirkan banyak perusahaan akan hengkang dan kesempatan investasi menurun.
Usulan Raperda mengenai CSR yang diajukan terkesan dipaksakan dan multi tafsir. Berdasarkan acuan, CSR secara umum merupakan kewenangan Pemerintah Pusat yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 74 ayat (4) UU 40/2007 yang menyatakan ”Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Untuk itu tidak ada satupun peraturan maupun pasal dalam perundang-undangan yang mengatur ataupun memberikan kewenangan bagi Pemerintah Daerah untuk mengatur CSR.
Analisa saya ada empat kemungkinan yang mendasari usulan tersebut. Yaitu, Pemkot berupaya membagi tanggung jawab pembangunan kepada perusahaan; kedua, ada upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak ketiga; ketiga, Walaupun belum jelas pola dan tata laksananya, Pemkot diduga berupaya mengkoordinir program CSR secara umum, keempat pihak perusahaan tidak serius dalam melaksanakan program CSR.
Selain itu adanya Perda CSR justru akan melegitimasi bentuk baru korupsi, yakni dengan dalih sumbangan Pemda memungut sumbangan dari perusahaan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu.
Ditinjau dari konsep otonomi daerah, Pemda tidak dianjurkan membentuk Perda CSR dengan dalih apapun, sebab pengaturan CSR bukanlah kewenangan daerah. Pelaksanaan CSR merupakan mandatory karena telah diatur dalam beberapa regulasi pusat yang berkaitan dengan CSR tanpa mendelegasikan kepada Pemerintahan Daerah untuk mengatur CSR.
Akan tetapi, pengajuan Perda mengenai CSR justru akan menimbulkan gesekan ekonomi biaya tinggi yang dapat membuat laju investasi di daerah menjadi stagnan bahkan lambat. Perda CSR juga menimbulkan kewajiban ganda bagi pengusaha/perusahaan yang harus dibayar selain pajak.
Adapun contoh kasus seperti yang terjadi di provinsi Sulawesi Tengah, dana CSR dicantumkan dalam APBD Perubahan 2016 sebagai danahibah; di Kota Surakarta dicantumkan dana CSR dalam APBD 2017 sebagai dana yang bersifat non budgetary; di Kabupaten Jeneponto, Ketua Baleg DPRD Kabupaten Jeneponto mengatakan untuk peningkatan PAD telah lahir 3 Perda, salah satunya Perda CSR, namun tidak dijalankan, kalau Perda CSR dijalankan PAD akan meningkat, sebab CSR 2% dari total keuntungan perusahaan harus diperoleh daerah.
Saya mengharapkan usulan Raperda yang diajukan Pemkot Baubau benar-benar bermanfaat dan merupakan kewenangan daerah. Sebab kurangnya pemahaman Pemda mengenai kewenangan maupun prosedur sering kali menghasilkan Perda yang dipaksakan dalam artian tanpa dasar hukum yang jelas. (*)