Memberitakan Dengan Fakta
BAUBAU  

Benarkah Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan?

Benarkah Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan?
Benarkah Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan?
Darmin Hasirun
Dosen Universitas Muslim Buton

OPINI,FAKTASULTRA.ID – Istilah Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, atau dalam istilah Wikipedia artinya suara rakyat harus dihargai sebagai penyampaian kehendak Ilahi, Istilah ini pertama kali dikutip dalam surat yang ditulis Alcuin of York (735-804), yang bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah yang absolut pada masanya.

Penulis Darmin Hasirun
Dosen Universitas Muslim Buton

Vox Populi Vox Dei mengalami booming saat sistem demokrasi merajai sebuah negara yang lahir dari ketidakadilan penguasa sehingga rakyat tergerak hatinya untuk meruntuhkan kekuasaan yang otoriter tersebut.

Pada mulanya slogan “Suara Rakyat, Suara Tuhan” merupakan motivasi bagi rakyat jelata yang berada dalam suatu negeri zhalim dan penindasan yang tidak manusiawi hingga mereka diharuskan melakukan perlawanan terhadap kondisi yang ada. Jikalau rakyat telah bersuara maka disitulah bersemayam suara Tuhan, yang mendorong untuk melakukan perubahan ke arah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, hal ini dilakukan karena panggilan dan seruan Illahi demi menciptakan suasana yang humanis dan demokrasi. Disinilah kedaulatan rakyat diposisikan seperti kalam Illahi..!

Bila berpangkal tolak pada pendekatan sosiologis, rakyat adalah sekumpulan manusia, maka tentu arah sorotan pun pada akhirnya tertuju kepada manusia. Dengan kata lain, apakah jatidiri manusia sebagai khalifah yang bersifat memimpin berdasarkan kebaikan atau sewaktu-waktu dapat berubah menjadi sosok kebalikannya? Tentu pertanyaan ini akan mengundang banyak perdebatan dengan pendekatan dan paradigma keilmuan masing-masing.

Menurut pendapat penulis istilah Suara Rakyat, Suara Tuhan tidaklah relevan dengan kondisi kekinian khususnya dalam pemilihan kepala daerah. Dimana masih banyak rakyat yang tidak mengerti akan eksistensinya sebagai hamba dan representasi cinta Tuhan yang selalu berbuat kebaikan dan terpanggil untuk menyuarakan kebenaran berdasarkan hati nuraninya.

Ketika suara rakyat sudah dapat dibeli dengan uang, kehormatannya digadai untuk kepentingan syahwat politik kekuasaan, saling beradu argumentasi dengan saling mencaci maki, merendahkan, saling penipu, dan idealismenya runtuh oleh iming-iming mendapatkan pekerjaan, singgasana, dan uang yang melimpah.

Dewasa ini sudah banyak kita mendengarkan kalimat yang terucap di bibir rakyat “kalau tidak ada uangnya, kami tidak pilih”, “ada uang, ada suara, tidak ada uang, jangan berharap” kondisi ini merupakan realita yang terjadi di daerah, hingga kerongkongan rakyat mudah diisi oleh selembar atau dua lembar uang merah, dan yang terpilih adalah pemimpin berhati kekuasaan, proyek, uang, manipulasi, kebohongan, dan kejahatan lainnya.

Kekecewaan demi kekecewaan yang dialami oleh rakyat menjadikan mereka trauma memilih orang-orang yang tidak berduit, sehingga mereka berdalil bahwa “sekarang masih kesempatan untuk mendapatkan uang, nanti kalau mereka duduk tidak akan melihat dan mendatangi kita, daripada tidak dapat apa-apa lebih baik ambil uangnya, karena 5 tahun sekali kita dapat rezeki nomplok”. Atau rakyat memberikan suaranya ketika ada keluarganya, satu partai, satu organisasi, satu etnis hingga mereka terikat oleh hukum primordial, cara berpikir seperti ini merupakan pikiran sungsang (terbalik), picik, dangkal dan bodoh.

Inilah yang menjadikan permasalahan kebenaran Suara Rakyat yang hatinya sudah tertutup oleh uang, pikiran dangkal, mudah bodohi oleh calon kepala daerah, mudah diiming-iming oleh proyek dan jabatan. Oleh karena itu, maka Vox Populi Vox Dei hanya menjadi pepesan kosong, bagaikan tong yang tidak berisi, saat dipukul nyaring bunyinya. Slogan yang jauh dari kualitas pesan yang mulia, lebih banyak disuarakan oleh orang-orang mayoritas yang menginginkan agar pemimpin daerah dipilih dan ditentukan oleh mereka yang rendah akhlak dan moralnya.

Ajaran suara rakyat adalah suara Tuhan, berubah menjadi kurikulum yang ditancapkan dalam-dalam dibenak (otak) anak bangsa, pendidikan para penyembah berhala dan manusia, karena mereka menganggap apa yang dikatakan oleh rakyat adalah benar, sehingga lahirlah suara mayoritas yang mengalahkan suara minoritas. Suara yang diakui kebenarannya apabila banyak rakyat yang menginginkannya, sedangkan suara minoritas tidaklah berguna apa-apa, hanya menjadi pemanis dan jauh dari kebenaran.

Padahal tidak ada satu ajaran agamapun yang memerintahkan mencari kebenaran pada suara rakyat, yang ada mencari kebenaran pada Kitab yang diturunkannya melalui Nabi atau Rasulnya..! karena Tuhan tahu betul bahwa rakyat yang diciptakannya masih banyak yang belum lurus akidahnya, cara berpikir sangat terbatas, suka materi, dan jabatan, sementara Tuhan adalah Maha Sempurna, jauh dari kesukaan materi, tidak butuh jabatan karena dialah pencipta segalanya.

Maka penulis tegaskan bahwa “SUARA RAKYAT BUKANLAH SUARA TUHAN”, Karena suara Tuhan selalu pada orang-orang pilihan seperti Nabi, Rasul dan orang-orang yang mulia yang jauh dari sifat hedonisme, cinta jabatan, cinta uang, cinta nafsu, selalu berkata benar, mereka memilih berdasarkan kebaikan umat, tidak takut dengan tekanan, intimidasi, provokasi, jalannya selalu lurus, pandangannya terang hingga tahu akan kebenaran sesungguhnya, dan mereka selalu menyuarakan penyembahan kepada Sang Illahi bukan pada manusianya.

Oleh karena itu, penulis merekomendasikan “PILIHLAH BERDASARKAN HATI NURANI ANDA SESUAI DENGAN KEYAKINANNYA, JANGAN SAMPAI TUHAN MARAH HANYA KARENA KITA BUTA DENGAN CARA MEMILIH PEMIMPIN YANG AMANAH DAN BAIK”.

Tinggalkan Balasan